|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
Kantor: Jl. R.E. Martadinata No. 150 Ciamis
|
|
BAHAN PERKULIAHAN
Mata Kuliah : Akuntansi
Keuangan Menengah
Tingkat/Semester : II/ 3
Dosen : Firman Aryansyah,
S.Pd., M.Pd.
Pokok Bahasan : Akuntansi
Persediaan
|
|
||||
Aliran Biaya itu dapat dimasukkan dalam jurnal sebagai
berikut:
Mutasi Persediaan
pada perusahaan dagang, dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Saldo Persediaan barang dagang
dipengaruhi oleh transaksi-transaksi berikut ini:
- Pembelian barang dagang
- Retur Penjualan
- Retur Pembelian dan diskun pembelian
- Penjualan barang dagang
- penyesuaian-penyesuaan terhadap saldo Persediaan (Persediaan hilang, menyusut,dll)
Terdapat dua
sistem pencatatan Persediaan:
·
Sistem
pencatatan Persediaan Perpetual
·
Sistem
Pencatatan Persediaan secara periodik
Sistem
Pencatatan Persediaan secara perpetual
Sistem
pencatatan Persediaan secara perpetual melakukan pencatatan Biaya Persediaan
secara terus menerus ke pembukuan. Setiap perubahan dalam Persediaan langsung
dicatat dengan mendebit atau mengkredit akun Persediaan. Teknik pencatatan
apabila menggunakan sistem ini adalah:
1. Setiap terjadi pembelian barang, akun Persediaan
didebit
2. Apabila terjadi pembayaran ongBiaya
masuk, menerima diskun tunai atas pembelian, atau pengembalian dan penyisihan
penjualan, maka nilai transaksi langsung dicatat ke akun Persediaan, bukan ke
akun khusus untuk mencatat peristiwa-peristiwa itu.
3. Setiap terjadi penjualan barang, maka
akun Persediaan di kreditkan dan akun Biaya dari barang terjual (Cost
of Goods Sold) didebitkan
4. Setiap jenis Persediaan dibuatkan kartu
Persediaan yang berfungsi sebagai buku pembantu (subsidiary ledger) dari akun Persediaan.
Sistem Persediaan
perpetual mencatat mutasi Persediaan secara terus menerus ke akun Persediaan
sehingga posisi Persediaan tetap bisa diketahui setiap saat. Untuk menghasilkan
pengendalian yang baik, maka sistem pencatatan Persediaan secara perpetual bisa
digunakan.
Sistem
Pencatatan Persediaan secara periodik
Sistem ini
mencatat mutasi (perubahan) terhadap saldo Persediaan ke masing-masing akun
yang menunjukkan transaksinya, bukan ke akun Persediaan. Teknik pencatatan
apabila menggunakan sistem ini adalah:
1. Setiap terjadi pembelian barang Biaya Persediaan
dicatat ke akun Pembelian.
2. Apabila terjadi pembayaran ongBiaya
masuk, menerima diskun tunai atas pembelian, atau pengembalian dan penyisihan
penjualan, maka nilai transaksi langsung dicatat ke akun masing-masing (Akun
biaya angkut pembelian, diskun pembelian, akun retur dan penyisihan pembelian)
bukan ke akun Persediaan.
3. Setiap terjadi penjualan barang, maka
akun Persediaan tidak dikreditkan.
4. Untuk menghitung Biaya dari barang yang
terjual (Cost of Goods Sold), maka
harus dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Biaya dari barang terjual (Cost of
Goods Sold)
Persediaan awal periode (Beginning Balance) xxx
Pembelian (Purchases) xxx
Retur pembelian (Purchase Return) (xxx)
Diskun pembelian (Purchase Discount) (xxx)
Biaya angkut (Freight In) xxx +
Pembelian neto (Net Purchase) xxx+
Barang tersedia untuk dijual xxx
(Goods
Available for sale)
Persediaan akhir Periode (Ending Balance) (xxx)
Biaya dari barang terjual (Cost
of Goods Sold) xxx
5. Persediaan akhir diketahui jumlahnya
hanya dengan melakukan perhitungan fisik.
6. Dibuat jurnal untuk
menutup/menyesuaikan saldo Persediaan akhir ke neraca dan menutup akun-akun
pembelian, retur pembelian, biaya angkut pembelian.
Kepemilikan
(hak) atas Persediaan menentukan siapa yang mencatat barang sebagai Persediaannya.
Untuk menetapkan hak atas Persediaan, ada beberapa kondisi yang harus
dianalisis:
·
Barang dalam perjalanan pada saat
menyusun laporan keuangan
Untuk menetapkan
siapa yang berhak atas barang yang sedang dalam perjalanan pada saat penyusunan
laporan keuangan, maka harus dilihat syarat (term) dari pembayaran ongBiaya angkut yang ada di konosemen (Bill of Lading). Terdapat dua syarat
pengiriman yang bisa menunjukkan kepemilikan dari barang:
1. FOB
Shipping Point (Free On Board Shipping
Point)
atau franko penjual. Apabila penjualan dilakukan dengan ketentuan ini maka ongBiaya
angkut pengiriman barang ditanggung oleh pihak pembeli barang. Hal itu berarti
kepemilikan barang berpindah apabila barang sudah keluar dari pelabuhan atau
tempat pengiriman. Pihak penjual dengan segera mengkreditkan akun Persediaan
dan pihak pembeli mendebitkan akun pembelian atau Persediaan. Ketentuan ini
biasanya dituliskan sesuai dengan kota
pihak penjual (misalnya: apabila pihak penjual berada di Kota Medan maka
dituliskan FOB Medan
atau Franko Medan)
2. FOB Destination (Free On Board Shipping Point) atau franko pembeli. Apabila
penjualan dilakukan dengan ketentuan ini maka ongBiaya angkut pengiriman barang
ditanggung oleh pihak penjual barang. Hal itu berarti kepemilikan barang
berpindah apabila barang sudah sampai ke tujuan atau tempat pembeli berada. Pihak
penjual mengkreditkan akun Persediaan apabila barang sudah sampai pada pembeli
barang dan pihak pembeli mendebitkan akun pembelian atau Persediaan apabila
sudah diterima. Ketentuan ini biasanya dituliskan sesuai dengan kota pihak pembeli
(misalnya: apabila pihak pembeli berada di Kota Jakarta maka dituliskan FOB Jakarta atau Franko
Jakarta)
·
Barang Konsinyasi
Salah satu
metode pemasaran yang banyak dipakai adalah konsinyasi. Pihak penitip (disebut
konsinyor) mengirimkan barang kepada agen penjual dimana agen penjual
berkewajiban menjual barang konsinyasi itu. Apabila barang tidak terjual maka
pihak penitip bisa mengambil atau mengganti barang dengan barang yang baru. Dalam
metode pemasaran secara konsinyasi barang tetap menjadi hak penitip barang
sampai barang itu terjual. Pihak yang menerima titipan (konsinyee)
menerima komisi atas penjualan barang dan berkewajiban menjaga barang dan
menempatkan barang di tempat yang pantas.
·
Perjanjian Penjualan Khusus
1.
Penjualan dengan perjanjian membeli
kembali
Kadang-kadang
perusahaan mendanai Persediaannya tanpa melaporkan adanya hutang atau Persediaan
di neraca. Hal ini dilakukan dengan penjualan dengan perjanjian membeli
kembali. Dalam model transaksi ini pihak penjual dan pembeli melakukan
perjanjian jual beli dimana pihak penjual berjanji akan membeli kembali Persediaan
dengan harga yang disepakati. Oleh pihak pembeli, barang ini digunakan sebagai
jaminan untuk pinjaman dari bank. Hasil peminjaman uang dari bank digunakan
oleh pembeli untuk melunasi transaksi penjualan barang. Dimasa depan, pihak
penjual membeli kembali seluruh barang dan pihak pembeli menggunakan hasilnya
untuk melunasi hutang ke bank. Transaksi itu dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Dengan melakukan penjualan dengan
perjanjian membeli kembali pihak penjual bisa menghindarkan pencatatan hutang
dan memanipulasi penghasilan. Sedian dengan skema penjualan ini tetap dicatat
oleh pihak penjual. Pihak penjual tetap sebagai pemilik barang dan juga harus
mencatat hutang ke bank sebagai kewajibannya.
2.
Penjualan dengan tingkat pengembalian
yang tinggi
Apabila dalam
suatu operasi usaha terdapat tingkat pengembalian (return) yang tinggi karena ada perjanjian dagang yang
memungkinkannya, maka terdapat dua alternatif pencatatan transaksi penjualan.
Pencatatan transaksi penjualan bisa dilakukan pada saat terjadinya transaksi dan
mencatat taksiran pengembalian dan penyisihan penjualan pada akun taksiran penembalian dan penyisihan
penjualan. Penjual bisa juga tidak mencatat
penjualan sampai suatu keadaan yang mengindikasikan jumlah yang akan
dikembalikan oleh pembeli. Apabila jumlah pengembalian bisa ditaksir dengan
akurat, maka Persediaan juga bisa dikreditkan pada saat mencatat penjualan.
3.
Penjualan Cicilan
Penjualan
cicilan merupakan cara penjualan lainnya dalam praktik bisnis. Pelanggan akan
melakukan cicilan sampai periode waktu tertentu. Cara penjualan secara cicilan
sangat beresiko, terutama tingkat ketertagihan piutang. Oleh karena itu, dalam
penjualan cicilan biasanya hak kepemilikan atas barang berpindah apabila
cicilan telah diselesaikan. Namun, terkait dengan kepemilikan atas Persediaan
dalam penjualan cicilan, barang-barang harus dikeluarkan dari akun Persediaan
pihak penjual apabila persentase dari piutang yang tak tertagih bisa ditaksir
secara akurat.
Diskun pembelian
diterima apabila entitas membayar hutang usaha pada rentang waktu diskun yang
diberikan pihak penjual. Untuk mencatat diskun pembelian terdapat dua metode
yang bisa digunakan, yaitu metode neto (Net Method) dan Metode Bruto (Gross
Method). Dengan menggunakan metode neto diskun pembelian langsung dikurangkan
dari pembelian/ Persediaan barang da hutang usaha. Apabila diskun tidak diambil
maka didebitkan akun kerugian atas
diskun pembelian (Purchase
discount Lost). Akun kerugian karena tidak memanfaatkan dikun pembelian
dilaporkan di laporan rugi laba pada kelompok biaya lain-lain (Other Expenses and Losses).
Metode bruto
dioperasikan dengan mencatat pembelian/Persediaan pada jumlah bruto. Pada saat
pembayaran hutang pada masa diskun, pembeli barang mencatat diskun dalam akun
diskun pembelian (apabila menggunakan sistem periodik) atau mengkreditkan akun Persediaan
(apabila menggunakan sistem perpetual). Misalnya, PT. A menggunakan sistem periodik
dan membeli barang dengan syarat 2/10,n/30 pada tanggal 1/5-2005 seharga Rp. 10
juta. Apabila pembayaran dilakukan dalam periode diskun atau diluar periode
diskun, pencatata yang dilakukan adalah:
Persediaan
dinilai atas dasar Biaya historis. Penyimpangan atas basis ini dapat dilakukan
apabila terdapat kondisi- kondisi lain, misalnya penurunan nilai Persediaan menuju
nilai pasar atau kondisi yang memerlukan estimasi atas nilai Persediaan.
Penilaian berbasis aliran Biaya historis terdiri atas beberapa metode:
·
Identifikasi
spesifik (Specific Identification)
·
FIFO
(First In First Out/Masuk Pertama Keluar
Pertama)
·
LIFO
(Last In First Out/ Masuk Terakhir Keluar
Pertama)
·
Average
(Rata-Rata)
Keempat asumsi aliran Biaya Persediaan
itu dapat diterapkan pada sistem pencatatan periodik maupun perpetual.
A.
Identifikasi Spesifik
Metode aliran Biaya
ini digunakan apabila terdapat ciri-ciri khusus dari setiap jenis Persediaan.
Karena setiap jenis memiliki kualitas dan harga yang berbeda-beda, maka setiap
barang yang terjual harus dikenali tanggal pembeliannya sehingga barang yang
tersisa (Persediaan) dan terjual bisa diidentifikasi Biaya-nya. Metode aliran Biaya
ini merupakan metode yang terbaik namun sulit untuk dilakukan, terutama pada
barang yang jenisnya banyak. Biasanya, metode ini digunakan pada entitas yang
memiliki jenis Persediaan sedikit, mahal dan mudah dibedakan berdasarkan
karakteristik barang (misalnya: emas, perhiasan, mobil, furniture,
berlian,dll).
Misalkan PT. A
memiliki data terkait dengan Persediaan sebagai berikut:
Apabila Persediaan akhir ( 600 unit,
berasal dari 300 + 685 -30 -395 + 40)
diidentifikasi berasal dari Persediaan awal (185 unit), pembelian
02/1-07 (70 unit), 16/1 (10 unit), dan
20/1 (175 unit), 31/1 (160 unit), maka Biaya
Persediaan akhir dapat dihitung:
B.
FIFO
Metode aliran Biaya
Persediaan dengan FIFO mengasumsikan aliran Biaya atas Persediaan yang keluar
diambil dari Biaya Persediaan yang paling awal masuk ( Biaya Persediaan yang pertama masuk
merupakan basis menentukan Biaya Persediaan yang dikeluarkan). Metode ini
mengasumsikan Biaya Persediaan akhir berasal dari Persediaan yang terakhir
masuk ke gudang/tempat penyimpanan.
Metode FIFO bisa diterapkan dalam sistem pencatatan periodik maupun
perpetual.
FIFO
pada sistem pencatatan periodik
Pada sistem
pencatatan periodik, Kunatitas dan Biaya Persediaan akhir diketahui apabila
dilakukan perhitungan fisik terhadap Persediaan. Biaya dari barang yang terjual
(Cost of Goods Sold) berasal dari
harga pembelian yang paling awal
sedangkan Biaya Persediaan akhir berasal dari pembelian yang terakhir
dan ditarik mundur sampai suatu tanggal dimana kuantitas Persediaan terpenuhi.
Berdasarkan contoh PT. A sebelumnya, maka Biaya Persediaan akhir dengan metode
FIFO dalam sistem Periodik dapat dihitung sebagai berikut:
FIFO
pada sistem pencatatan Perpetual
Dalam sistem Persediaan
perpetual, manajemen Persediaan dilakukan dengan membuat kartu Persediaan (di
bagian akuntansi) yang memuat setiap mutasi (pergerakan) barang serta Biaya-nya.
Apabila dipakai metode FIFO, maka setiap barang yang keluar karena terjual
dihitung Biaya-nya berdasarkan Biaya Persediaan akhir yang pertama dibeli. Biaya
dari Persediaan akhir berasal dari harga pembelian barang yang terakhir..
Dari contoh
sebelumnya, Persediaan akhir PT. A dapat dihitung dengan menggunakan metode
aliran FIFO dalam sistem Persediaan perpetual:
Walaupun saldo Persediaan akhir bisa
diketahui dari kartu Persediaan, namun perhitungan fisik terhadap Persediaan
akhir tetap harus dilakukan minimal pada saat akhir periode akuntansi
C.
METODE LIFO
Metode LIFO
bergerak dalam arah yang berlawanan dengan metode FIFO. Pada metode aliran Biaya
ini, Biaya dari barang yang dijual (Cost
of Goods Sold) diambil dari Biaya Persediaan yang terakhir dibeli sehingga Biaya
Persediaan akhir berasal dari Biaya barang yang pertama dibeli.
LIFO
pada sistem pencatatan periodik
Dalam sistem
periodik, Biaya Persediaan akhir diketahui jika dilakukan perhitungan fisik
terhadap Persediaan. Biaya Persediaan akhir
berasal dari pembelian yang pertama dilakukan dan kemudian ditarik maju
sampai kepada tanggal pembelian dimana seluruh unit dalam Persediaan terpenuhi. Dalam contoh sebelumnya, Biaya Persediaan
akhir PT. A, apabila dinilai dengan metode LIFO pada sistem Persediaan
periodik, dapat dihitung sebagai berikut:
LIFO
pada sistem pencatatan perpetual
Pada sistem
perpetual, Biaya dari barang yang dijual ditentukan berdasarkan Biaya pembelian
barang terakhir. Biaya Persediaan akhir dihitung
dari harga pembelian yang pertama dilakukan. Dari contoh PT. A sebelumnya,
nilai Persediaan akhir dapat dihitung sebagai berikut:
D.
METODE AVERAGE (RATA-RATA)
Metode rata-rata
juga dapat diaplikasikan pada sistem pencatatan periodik dan perpetual.
Metode
Average dalam sistem periodik (Rata-Rata Tertimbang)
Metode ini tidak
mendasarkan Biaya Persediaan berdasarkan aliran barang masuk atau keluar, namun
merata-ratakan Biaya dari barang yang tersedia untuk menghitung Biaya Persediaan
akhir. Dari contoh PT. A sebelumnya, Biaya Persediaan akhir dapat dihitung
sebagai berikut:
Metode
Average dalam Sistem Perpetual (Rata-rata Bergerak)
Persediaan yang
di catat dikartu Persediaan dirata-ratakan Biaya-nya setiap terjadi pembelian
barang. Dari data Persediaan PT. A, Persediaan
akhir dapat dihitung dari kartu Persediaan berikut ini:
Rata-rata Persediaan
dihitung dengan menambahkan total saldo Persediaan sebelum pembelian ditambah
total harga beli barang, kemudian membagikan hasil penjumlahan itu dengan total
kuantitas Persediaan. Misalnya, Biaya/unit
Persediaan pada tanggal 16 Januari 2007 dapat dihitung sebagai berikut:(
50.250 +33.000) : (335 +200) = Rp. 156. Dari beberapa metode Persediaan yang
sudah dijelaskan, metode rata-rata merupakan metode yang paling sederhana dan
mudah dilakukan.
Perbandingan
Rugi-laba Masing-Masing Metode
Masing-masing
metode menghasilkan Biaya Persediaan dan Biaya dari barang terjual yang
berbeda-beda. Biaya Persediaan yang berbeda-beda ini menghasilkan laba bruto
yang berbeda. Perbandingan laba rugi masing-masing metode dengan menggunakan
data PT. A diatas, dengan asumsi setiap barang dijual seharga Rp. 250 per
unit, dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Dari tabel
diatas terlihat bahwa metode FIFO menghasilkan laba yang lebih tinggi karena Biaya
Persediaan akhir dengan metode FIFO lebih tinggi dibandingkan metode-metode
aliran Biaya Persediaan lainnya. Metode aliran Biaya apapun yang dipilih untuk
dipakai harus digunakan secara konsisten (dipakai dari satu periode ke periode
berikutnya) untuk menjaga keandalan dan keterbandingan informasi keuangan.
Perpindahan dari
satu metode aliran Biaya Persediaan ke metode lainnya tetap dimungkinkan dengan
alasan yang masuk akal dan dijelaskan dalam Catatan Terhadap Laporan Keuangan
(Notes to Financial Statements).
4.
METODE LAIN UNTUK MENILAI DAN MENAKSIR BIAYA PERSEDIAAN
Secara umum Persediaan
dinilai berdasarkan metode Biaya histories, yaitu salah satu dari antara metode
identifikasi khusus, FIFO, atau rata-rata. Penyimpangan dari basis Biaya
histories ini bisa dilakukan sepanjang terdapat hal yang memungkinkan metode
berdasarkan Biaya historis sulit atau tidk memungkinkan untuk dilakukan.
Beberapa cara untuk menilai atau menaksir Persediaan diluar metode aliran Biaya
histories adalah:
- Metode Lower of Cost or Market (Terendah antara Biaya dan Pasar)
- Metode Lower of Cost or Net Realizable Value (Terendah antara Biaya dan Nilai Realisasi Neto)
- Metode Relative Sales Value (Nilai Penjualan Relatif)
- Metode Gross Profit (Laba Bruto)
- Metode Retail Inventory (Persediaan Eceran)
LOWER
OF COST OR MARKET (TERENDAH ANTARA BIAYA DAN PASAR)
Metode Lower
of Cost or Market (Terendah antara Biaya dan Pasar) digunakan untuk
menilai Persediaan pada waktu laporan keuangan akan disusun. Metode ini
digunakan apabila manfaat Persediaan menurun dibawah nilai/Biaya Persediaan. Kondisi
tersebut terjadi apabila nilai pasar Persediaan lebih rendah dari Biaya Persediaan
karena kerusakan Persediaan atau Persediaan merupakan barang usang.
Akibatnya, kerugian karena nilai pasar yang lebih rendah dari Biaya Persediaan
harus diakui/dicatat pada periode penilaian. Biaya Persediaan yang dinilai dengan salah
satu metode berbasis Biaya (FIFO, LIFO, AVERAGE atau Identifikasi Khusus)
dibandingkan dengan nilai pasarnya, yaitu harga beli barang apabila pada saat
penilaian barang itu dibeli kembali.
Harga pasar
merupakan Biaya pengganti (Replacement
Cost) dari Persediaan, yaitu harga
pasar apabila barang yang sama dibeli pada tanggal penilaian, bukan harga jual
dari Persediaan itu. Misalnya, barang yang memiliki Biaya Rp. 20,000 pada
tanggal penyusunan laporan dapat dibeli dengan harga Rp. 19.500 maka Biaya
pengganti adalah Rp.19.500. Selisih antara nilai Persediaan yang dinilai
berbasis Biaya dengan nilai pasarnya dianggap sebagai kerugian penurunan Persediaan
dan dibebankan pada periode dimana penurunan terjadi. Penilaian ini merupakan
cara yang konservatif dalam menilai Persediaan.
Cara
kerja metode LCM
Metode LCM
bekerja sesuai dengan gambar berikut ini:
Penjelasan:
1. Biaya Persediaan merupakan nilai Persediaan
yang dinilai dari salah satu metode berbasis Biaya: FIFO, LIFO, AVERAGE, dan Identifikasi
Khusus.
2. Nilai pasar merupakan Biaya pengganti,
yaitu harga beli Persediaan pada saat penilaian dilakukan. Biaya pengganti (Replacement Cost) tidak boleh melebihi
nilai realisasi neto, yaitu estimasi penjualan setelah dikurangi estimasi
pengeluaran untuk menyelesaikan Persediaan (estimasi biaya penyelesaian) dan
biaya penjualan, dan tidak boleh lebih rendah dari nilai realisasi neto setelah
dikurangi penyisihan marjin laba normal.
3. Apabila nilai pengganti melebihi nilai
realisasi neto maka yang digunakan sebagai nilai pasar adalah nilai realisasi
neto karena nilai realisasi neto
merupakan nilai penjualan neto (harga jual dikurangi biaya penyelesaian dan
biaya penjualan) yang diharapkan mengalir ke perusahaan. Nilai Realisasi Neto
menutupi kerugian yang disebabkan oleh kerusakan atau keusangan Persediaan.
Apabila nilai pengganti melebihi nilai realisasi neto dan dipakai sebagai
asumsi nilai pasar maka Persediaan menjadi lebih tinggi dari nilai
realisasinya. Misalnya: Biaya Persediaan akhir Rp. 600, nilai pengganti Rp.550,
dan nilai realisasi neto Rp 500, maka tidaklah tepat untuk menilai Persediaan
sebesar nilai pengganti Rp. 550, karena Persediaan hanya bisa direalisasi
(dijual, setelah dikurangi biaya-biaya pelepasan) Rp. 500.
4. Apabila Nilai Biaya pengganti kurang
dari nilai realisasi neto dikurangi
penyisihan marjin laba normal, maka yang digunakan sebagai nilai pasar
adalah hasil pengurangan nilai realisasi neto dengan penyisihan marjin laba
normal. Hasil pengurangan nilai realisasi neto dengan penyisihan marjin laba
normal merupakan
5. batas bawah dimana Persediaan tidak
boleh dijual dibawah nilai itu. Nilai
batas bawah ini merupakan nilai yang dapat diperoleh atau direalisasi
perusahaan dari Persediaan dengan tetap
memperoleh laba.
6. Misalnya, PT. A memiliki Persediaan
yang dinilai dengan FIFO. Biaya Persediaan akhir Rp. 2,000. Nilai penjualan
dari Persediaan Rp. 2.500 dan taksiran
biaya penyelesaian dan penjualan Rp.150. Penyisihan untuk marjin laba normal
sebesar 10% dari penjualan. Harga beli Persediaan (Replacement Cost) pada saat penilaian dilakukan Rp.1.950. Batas
atas dan Batas Bawah dapat dihitung:
Karena Nilai
Pengganti (Replacement Cost) Rp.
1,950 sudah dibawah batas bawah, maka yang digunakan sebagai nilai pasar adalah
Rp. 2.100. Selanjutnya metode LCM diaplikasikan untuk Biaya Rp. 2,000 dan nilai
pasar Rp. 2.100. Karena yang terendah adalah Biaya Persediaan maka nilai Persediaan
akhir yang disajikan di laporan keuangan adalah Rp. 2.000.
APLIKASI
METODE LCM
Metode LCM bisa
diaplikasikan kepada masing-masing individu Persediaan, kategori utama Persediaan
atau keseluruhan Persediaan. Misalnya PT. Aditia memiliki beberapa jenis Persediaan
yang bisa dikategorikan atas dua jenis Persediaan. Data-data untuk menilai Persediaan
dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini (penyisihan marjin laba normal 10%
dari harga jual):
Aplikasi metode LCM untuk setiap item Persediaan,
kategori utama Persediaan dan keseluruhan dapat dilakukan sebagai berikut:
Hasil penilaian Persediaan menurut
metode LCM berdasarkan ketiga kategori itu adalah:
Untuk menyesuaikan nilai Persediaan
dari berbasis Biaya menuju berbasis pasar (LCM), ada dua metode pencatatan:
1.
Metode langsung
Metode ini menyesuaikan selisih penilaian ke
akun Biaya dari Barang Terjual (Cost of Goods Sold) dan Persediaan
periode itu. Tidak ada pengakuan kerugian atas penurunan nilai Persediaan. Dari
ilustrasi diatas, penyesuaian dengan metode langsung untuk LCM Individual dapat
dibuat sebagai berikut:
2.
Metode Tidak langsung/Penyisihan
Metode ini
menyesuaikan selisih penilaian ke akun penyisihan penurunan nilai Persediaan
dan mengakui kerugian karena penurunan nilai Persediaan. Metode ini
mengungkapkan kerugian atas penurunan nilai Persediaan dan tidak langsung
mengurangi nilai Persediaan di neraca. Dari segi pengungkapan informasi
keuangan, metode ini lebih baik dari metode langsung.
Akun kerugian
karena penurunan nilai pasar Persediaan disajikan di laporan rugi laba pada
kelompok biaya lain-lain, sedangkan akun penyisihan terhadap penurunan nilai Persediaan
disajikan di neraca sebagai pengurang akun Persediaan (Contra Account). Nilai Biaya dari barang terjual (Cost of Goods Sold) tidak berubah sama
sekali.
METODE
LOWER OF COST OR NET REALIZABLE VALUE
(TERENDAH ANTARA BIAYA DAN NILAI REALISASI NETO)
Apabila nilai Persediaan
lebih tinggi dari nilai realisasinya, maka Biaya dari Persediaan tidak akan
bisa lagi dipulihkan atau diperoleh. Penyebab nilai Persediaan melebihi nilai
realisasinya adalah barang yang rusak atau usang atau bila harga penjualan
menurun dibawah Biaya Persediaan. Misalnya, Persediaan yang memiliki Biaya Rp.
600 namun hanya bisa dijual (direalisasi) sebesar Rp. 500, tidak wajar apabila
dilaporkan di neraca sebesar Biaya-nya Rp. 600. Untuk mencegah melaporkan Persediaan
dalam jumlah yang melebihi nilai realisasinya maka metode terendah antara Biaya
dan nilai realisasi neto dapat digunakan untuk menilai Persediaan akhir.
Metode ini
membandingkan nilai Persediaan yang dinilai berbasis Biaya histories dengan
nilai realisasi neto dari Persediaan. Nilai realisasi Neto merupakan nilai
penjualan neto yang diharapkan mengalir dari Persediaan. Sama dengan metode
LCM, nilai realisai neto dihitung dengan mengurangkan nilai Persediaan menurut
harga jual dikurangi dengan taksiran-taksiran biaya penyelesaian dan penjualan.
Nilai terendah antara nilai Persediaan yang dinilai berbasis Biaya historis
dengan nilai realisasi neto diangkat sebagai nilai Persediaan akhir di laporan
keuangan.
Sama dengan
metode LCM, penilaian Persediaan juga dapat dilakukan untuk masing-masing item Persediaan,
kelompok utama atau secara keseluruhan. Selisih penilaian dapat dicatat dengan metode langsung ataupun metode
tidak langsung, seperti diterapkan pada metode LCM
Argumen
pendukung terhadap metode ini adalah nilai Persediaan tidak boleh melebihi
nilai realisasi neto-nya, karena aktiva tidak boleh dinilai melebihi nilai
realisasinya Apabila Persediaan sudah melebihi nilai realisasi neto, maka Persediaan
sudah disajikan terlampau tinggi (overstatement).
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dalam PSAK No.14 menganjurkan penilaian Persediaan
dengan metode ini.
METODE
LABA BRUTO (GROSS PROFIT METHOD)
Metode laba
bruto digunakan untuk menaksir Persediaan dalam kondisi tidak memungkinkan atau
tidak efisien dari segi waktu untuk melakukan perhitungan fisik terhadap saldo Persediaan.
Biasanya metode ini digunakan apabila Persediaan terkena bencana alam (banjir,
kebakaran, dll), atau oleh auditor untuk menaksir nilai Persediaan akhir, atau
apabila laporan keuangan disusun untuk periode interim. Metode ini juga
digunakan oleh perusahaan asuransi untuk menaksir Persediaan yang terkena
bencana alam dan diasuransikan. Bila memungkinkan, perusahaan harus tetap melakukan
perhitungan fisik atas Persediaan minimal sekali setahun.
Metode laba
bruto dioperasikan dengan menetapkan suatu persentase laba bruto dari
penjualan. Misalnya, PT. Andika memiliki penjualan Rp 20.000.000 dan ditaksir
laba bruto 15% dari penjualan. Saldo Persediaan awal Rp. 35.000.000, pembelian
dalam periode itu Rp. 15.000.000. Secara sederhana Persediaan akhir dapat
dihitung dengan cara:
METODE
NILAI PENJUALAN RELATIF (RELATIVE SALES VALUE)
Metode nilai
penjualan relative digunakan untuk menilai Persediaan yang dibeli secara
borongan (lump-sum). Alokasi Biaya Persediaan
didasarkan pada perbandingan total harga jual masing-masing item Persediaan
dengan keseluruhan harga jual. Rasio itu kemudian dikalikan dengan total harga
beli seluruh Persediaan. Misalnya, Tuan A membeli pakaian bekas dalam bal
(suatu ukuran untuk pembelian pakaian jadi). Harga 1 bal pakaian adalah Rp.
3.500.000, terdiri dari pakaian anak-anak:
1. Kualitas I (80 buah), harga jual Rp.
50.000/unit
2. Kualitas II ( 120 buah), harga jual Rp.
35.000/unit
3. Kualitas III (100 buah), harga jual Rp.
10.000/unit
Pada akhir periode, yang tersisa
adalah:
1. Kualitas I (20 buah),
2. Kualitas II ( 60 buah)
3. Kualitas III (10 buah)
Biaya dari Persediaan akhir dapat
dihitung sebagai berikut:
METODE
RETAIL INVENTORY (PERSEDIAAN ECERAN)
Pada perusahaan
eceren item Persediaan sangat banyak, sehingga perhitungan fisik atas Persediaan
kurang efektif dilakukan terutama apabila perusahaan membuat laporan keuangan
secara interim. Untuk mengetahui nilai Persediaan tanpa perlu melakukan
perhitungan fisik adalah dengan menggunakan metode Persediaan eceran. Metode
ini digunakan untuk menaksir nilai Persediaan yang tersisa pada suatu tanggal.
Metode Persediaan eceran bisa digunakan dengan asumsi:
- Perusahaan memiliki catatan tentang Biaya dan harga eceran dari setiap barang yang dibeli
- Perusahaan memiliki catatan tentang Biaya dan harga eceran setiap barang yang tersedian untuk dijual.
- Memiliki catatan penjualan pada periode itu.
Taksiran nilai Persediaan
dihitung dengan rasio Biaya terhadap
harga eceran (Cost to retail ratio),
yaitu membandingkan nilai barang yang tersedia untuk dijual pada harga eceran
dengan nilai barang yang tersedia untuk dijual berdasarkan Biaya-nya (harga
pemerolehan).
Istilah-istilah
yang digunakan dalam metode Persediaan eceran
Dalam perusahaan
eceran, kenaikan atau penurunan harga eceren sangat sering dilakukan terutama
untuk menyambut peristiwa-peristiwa tertentu atau untuk menanggapi pertumbuhan
atau penurunan permintaan terhadap barang. Beberapa istilah yang digunakan untuk
menjelaskan kenaikan atau penurunan harga eceran adalah:
- Mark up, yaitu jumlah kenaikan diatas harga eceran
- Pembatalan Mark Up (Mark Up Cancellation), yaitu penurunan harga pada interval mark up yang sudah dibuat
- Mark Down, yaitu jumlah penurunan harga eceran
- Pembatalan Mark Down, yaitu kenaikan harga pada interval mark down yang sudah dibuat.
Misalnya, harga
eceran barang X Rp. 5.000. Apabila harga dinaikkan menjadi Rp. 6.000 maka mark
up Rp. 1.000. Apabila harga menjadi Rp. 5.500 maka pembatalan mark Up Rp. 500.
Apabila harga menurun menjadi Rp. 4.800, maka pematalan mark up Rp. 500 dan
mark down Rp. 200. Bila harga dinaikkan menjadi Rp. 4.950, maka telah terjadi
pembatalan mark down Rp. 150. Ilustrasi itu bisa digambarkan sebagai berikut:
Misalnya, PT. Aditya memiliki data Persediaan
menurut Biaya dan harga eceran seperti dibawah ini:
Nilai Persediaan
akhir dapat dihitung dengan metode konvensional atau metode Biaya.
Dengan metode konvensial, nilai barang tersedia untuk dijual menurut
harga eceran tidak termasuk mark down dan
pembatalan mark down (hanya sampai Mark up). Apabila metode Biaya yang digunakan,
maka nilai mark up, pembatalan mark up,
mark down, dan pembatalan mark down diikutkan dalam perhitungan. Nilai Persediaan
akhir menurut harga eceran diperoleh dengan mengurangkan nilai barang tersedia
untuk dijual menurut harga eceran dengan nilai penjualan. Biaya Persediaan
akhir diperoleh dengan mengalikan rasio Biaya terhadap harga eceran terhadap
nilai Persediaan menurut harga eceran.
Metode
Biaya (Cost Method)
Metode
Konvensional (Conventional Method)
Berdasarkan rumus diatas maka Persediaan
akhir PT. Aditya dapat dihitung:
Metode
Konvensional tidak memasukkan mark-down untuk
menghitung rasio Persediaan akhir. Metode ini digunakan apabila perusahaan
ingin menaksir nilai Persediaan akhir yang dinilai dengan menggunakan metode
terendah antara Biaya (rata-rata) dan nilai pasar.
Metode Biaya
memasukkan mark up maupun mark down untuk menghitung nilai Persediaan
akhir. Metode ini tidak mengakui adanya kerugian akibat penurunan nilai Persediaan.
Komitmen
pembelian adalah suatu kontrak pembelian antara pihak penjual dengan pihak
pembeli barang. Bagi pembeli, kontrak pembelian melindunginya dari kenaikan
harga yang akan terjadi dalam masa-masa kontrak dan menjamin pasokan barang.
Bagi pihak penjual, kontrak ini menjamin penjualan barang dan arus kas perusahaan.
Pasa saat komitmen disepakati, tidak ada pencatatan yang perlu dilakukan pada
catatan akuntansi (jurnal). Apabila nilai kontrak material, maka kontrak harus
diungkapkan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (Notes to Financial Statement). Pencatatan
ke jurnal dilakukan ketika laporan keuangan (interim atau tahunan) akan
disusun. Pada saat itu, penilaian dilakukan terhadap harga yang tercantum dalam
kontrak terhadap harga pasarnya. Apabila harga pasar menurun dibawah harga
kesepakatan, maka pihak pembeli harus mengakui kerugian dan hutang yang terkait
dengan kerugian penurunan harga itu. Penilaian harga kontrak terhadap harga
pasar juga dilakukan pada saat barang akan diterima dan pembayaran dilakukan.
Misalnya, PT.
Aditia melakukan komitmen pembelian
dengan PT. Biduan Lestari. Komitmen untuk membeli barang dari PT. Biduan
Lestari pada harga yang disepakati Rp. 2.500/unit untuk 3.000 unit barang. Pada
akhir periode akuntansi, harga barang tersebut di pasar Rp. 2.000. Hal itu
berarti PT. Aditia kehilangan kesempatan untuk memperoleh harga yang lebih
murah dari harga kontrak. Untuk itu, PT. Aditia harus mengakui kerugian karena
harga pasar dibawah harga komitmen:
Kerugian karena penurunan harga pasar
itu disajikan di laporan rugi laba pada kelompok akun Biaya dan kerugian
lainnya. Akun hutang taksiran atas komitmen pembelian disajikan pada kelompok
hutang jangka pendek (hutang lancar). Apabila pada saat barang diterima harga
pasar sebesar Rp. 2.200, maka PT. Aditia harus mengakui keuntungan (ingat:
keuntungan boleh diakui hanya ketika realisasi dilakukan):